Minggu, 04 Oktober 2015

Filsafat Modern

FILSAFAT MODERN


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Filsafat merupakan cara atau kegiatan berpikir yang bebas, kritis dan, mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai tidak ada jawaban dan pertanyaan. Filsafat ada karena manusia berpikir. Manusia merupakan makhluk yang diciptakan dengan segala kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain di bumi seperti hewan dan tumbuhan. Salah satu potensi yang manusia miliki adalah akal atau pikiran yang ada dalam otaknya. Manusia dan hewan sama-sama memiliki otak, namun otak pada manusia bersifat dinamis dalam artian selalu berkembang dari waktu  ke waktu atau tidak tetap, sedangkan otak pada hewan bersifat statis. Sebagaimana yang telah kita ketahui, adanya ilmu pengetahuan adalah dimulai dari kegiatan berfilsafat. Karena ada filsafatlah, maka ada ilmu pengetahuan.
Ditinjau dari sudut sejarah, filsafat memiliki empat periodisasi. Periodisasi ini didasarkan atas corak pemikiran yang dominan pada waktu itu. Pertama, adalah zaman Yunani Kuno, ciri yang menonjol dari filsafat Yunani Kuno adalah ditujukannya perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna menemukan asal mula (arche) yang merupakan unsur awal terjadinya gejala-gejala. Para filosof pada masa ini mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagad raya, sehingga ciri pemikiran filsafat pada zaman ini disebut kosmosentris. Kedua, adalah zaman Abad Pertengahan, ciri pemikiran filsafat pada zaman ini disebut teosentris. Para filosof pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama Kristiani, akibatnya perkembangan alam pemikiran Eropa pada abad pertengahan sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama, sehingga pemikiran filsafat terlalu seragam bahkan dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran filsafat sebenarnya. Ketiga, adalah zaman Abad Modern, para filosof zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis filsafat, maka corak filsafat zaman ini lazim disebut antroposentris. Keempat, adalah Abad Kontemporer atau Post-modernisme yang mamiliki ciri pokok pemikiran logosentris, artinya teks menjadi tema sentral diskursus filsafat.
Dalam makalah yang penulis susun ini, penulis ingin menjelaskan tentang filsafat pada periode modern dimulai dari latar belakang terbentuknya hingga  menjelaskan beberapa aliran filsafat dalam periode modern ini beserta para tokohnya.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka penulis membuat sejumlah rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan renaissance dan bagaimana awal perkembangan filsafat modern?
2.      Bagaimana karakteristik dari filsafat modern?
3.      Apa saja aliran-aliran dalam filsafat modern?

C.      Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain :
1.      Untuk memahami tentang renaissance dan mengetahui awal perkembangan filsafat modern.
2.      Untuk mengetahui karakteristik dari filsafat modern.
3.      Untuk mengetahui aliran-aliran dalam filsafat modern.
D.      Manfaat
Manfaat yang bisa penulis ambil dari penyusanan makalah ini antara lain :
1.        Menambah wawasan penulis mengenai filsafat modern.
2.        Menambah keterampilan penulis dalam menyusun sebuah makalah.








BAB II
PEMBAHASAN
A.      Renaissance dan Awal Perkembangan Filsafat Modern
Dari beberapa sumber literatur yang ada, terjadi perbedaan dalam penetapan waktu dimulainya filsafat modern. Ada yang mengatakan bahwa filsafat modern dimulai dari abad 17 Masehi sampai abad 19 Masehi dan ada juga yang mengatakan bahwa filsafat modern dimulai pada abad ke 15 sampai abad 19 Masehi. Namun dalam hal ini pemikiran penulis lebih condong pada sumber yang mengatakan bahwa filsafat modern dimulai pada abad ke 15 Masehi.
Filsafat modern dimulai dengan adanya renaissance yang muncul pada sekitar abad ke-15 Masehi. Kata “renaissance” sendiri berasal dari bahasa Prancis yang berarti "kelahiran kembali (rebirth)". Istilah renaissance ini biasanya digunakan oleh para ahli sejarah untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual yang terjadi di Eropa, khususnya di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16.
Selain itu, maksud dari kelahiran kembali disini adalah karena adanya kerinduan akan pemikiran filsafat zaman Yunani klasik yang bebas tanpa adanya dogma-dogma yang mengikat sehingga para filsuf abad ini mencoba untuk membangkitkan kembali pemikiran-pemikiran filsafat yang radikal. Renaissance ditandai oleh kelahiran kembali di berbagai ilmu, seperti ilmu sastra, kesenian, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan alam berkembang pesat berdasarkan metode eksperimental.
Pada zaman renaissance manusia disebut sebagai animal rationale, karena pada masa ini pemikiran manusia mulai bebas dan berkembang. Manusia ingin mencapai kemajuan (progress) atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan atas campur tangan Illahi.
Zaman renaissance sering disebut sebagai zaman humanisme, sebab pada abad pertengahan manusia kurang dihargai sebagai manusia, kebenaran diukur berdasarkan kebenaran gereja, bukan menurut yang dibuat oleh manusia. Humanisme menghendaki ukuran haruslah manusia, karena manusia mempunyai kemampuan berpikir, berkreasi, memilih dan menentukan, maka humanisme menganggap manusia mampu mengatur dirinya dan mengatur dunianya. Ciri utama renaissance dengan demikian adalah humanisme, individualisme serta terlepas dari agama. Manusia sudah mengandalkan akal (rasio) dan pengalaman (empiris) dalam merumuskan pengetahuan, meskipun harus diakui bahwa filsafat belum menemukan bentuk pada zaman renaissance, melainkan pada zaman sesudahnya, yang berkembang pada waktu itu sains, dan penemuan-penemuan dari hasil pengembangan sains yang kemudian berimplikasi pada semakin ditinggalkan agama kristen karena semangat humanisme. Fenomena tersebut cukup tampak pada abad modern.
Ilmu pengetahuan yang mengalami perkembangan yang pesat pada masa renaissance ini adalah astronomi. Beberapa tokoh yang terkemuka pada masa adalah Copernicus (1473 - 1543),  Tycho Brahe (1546 - 1601),  Johannes Keppeler (1571 - 1630), dan Galileo Galilei (1546 - 1642).
Selain itu, pada zaman modern ini telah membangkitkan pula gerakan Aufklarung, suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan, manusia secara natural akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai macam aliran sebagai akibat dari pergumulan filsafat modern yang menjadi multi-aplikatif telah menghasilkan krisis budaya.
Semua itu menunjukkan bahwa perkembangan filsafat tampaknya berjalan dalam dialektika antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, yang ditandai dengan lahirnya aliran-aliran dasar seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan realisme. Namun, disamping itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia.

B.       Karakteristik Filsafat Modern
Zaman modern merupakan zaman tegaknya corak pemikiran filsafat yang berorientasi antroposentrisme, sebab manusia menjadi pusat perhatian. Pada masa Yunani dan abad pertengahan filsafat selalu mencari substansi prinsip induk seluruh kenyataan. Para filsuf Yunani menemukan unsur-unsur kosmologi sebagai prinsip induk segala sesuatu yang ada. Sementara para tokoh abad pertengahan, Tuhan menjadi prinsip bagi segala yang ada, namun pada zaman modern, peranan substansi diambil alih oleh manusia sebagai ‘subjek’ yang terletak di bawah seluruh kenyataan, dan memikul seluruh kenyataan yang melingkupinya. Letak perbedaan lain antara filsafat abad pertengahan dengan abad modern yaitu terletak pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada abad pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri yaitu akal. Kekuasaan yang mengikat itu adalah agama dengan gerejanya serta Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut. Oleh karena itu zaman modern sering disebut sebagai zaman pembentukan ‘subjektivitas’, karena seluruh sejarah filsafat zaman modern dapat dilihat sebagai satu mata rantai perkembangan pemikiran mengenai subjektivitas. Semua filsuf zaman modern menyelidiki segi-segi subjek manusiawi. Aku sebagai pusat pemikiran, pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat tindakan pusat kehendak, dan pusat perasaan. Peradaban Eropa modern terbentang mulai dari abad ke-15 hingga abad ke-19 dengan watak pemberontakannya terhadap periode pertengahan. Bertrand Russel, sebagaimana dikutip dalam lenianggraini416.blogspot.com mengemukakan lima perbedaan antara periode modern dengan periode pertengahan, yaitu sebagai berikut :
1.      Berkurangnya otoritas gereja dan meningkatnya otoritas ilmu.
2.      Kekuasaan gereja yang semula dominan mulai berkurang dan digantikan fungsinya oleh raja.
3.      Jika abad pertengahan manusia berusaha memahami dunia (theorical science), maka masa modern manusia berusaha mengubah dunia (practical science).
4.      Jika pada masa pertengahan manusia yang berusaha memahami dunia dan tidak sesuai dengan isi kitab suci maka akan dihukum. Tetapi pada masa modern penolakan terhadap kitab suci dianggap sah jika menemukan sebuah teori yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan.
5.      Kebebasan dari otoritas gereja menimbulkan individualisme atau bahkan anarkisme.
Selain itu, Berman juga mengidentifikasi tiga fase perbedaan secara historis perkembangan modernitas dari abad ke-13 hingga abad ke-18, yaitu :
1.      Pengalaman kehidupan modern.
2.      Revolusi Prancis dan munculnya pergolakan sosial, politik, serta kehidupan individu yang berkenaan dengan gelombang revolusi besar pada 1790.
3.      Kemudian terjadi peleburan proses modernisasi dan perkembangan budaya dunia modern yang lebih mempercepat perubahan di bidang sosial dan kehidupan politik yang berdampak munculnya bentuk pengalaman baru.
Berman menyoroti modernitas dari sisi gejolak sosial politik yang terjadi. Dia melihat struktur masyarakat Eropa modern dibangun dari beberapa momen perubahan sosial politik yang melanda Eropa dari rentang waktu abad 13 Masehi hingga abad 18 Masehi. Gejolak sosial politik diyakini sebagai bagian dari dampak dinamis prinsip-prinsip perkembangan ilmu pengetahuan.
Modernisasi juga berhubungan dengan industrialisasi. Modernisasi merupakan petunjuk jalan untuk memperlihatkan kunci bagi modernitasi dalam mengubah kesadaran masyarakat. Dalam artian luas, modernisasi dapat dipahami sebagai sebuah keberanian dan pengakuan kesadaran sebagai kekuatan dalam dirinya. Dengan demikian, era modern ditandai dengan usaha manusia untuk mengoptimalkan potensi diri dalam mengindera, berpikir, dan melakukan berbagai eksprimen mengelola alam.
Ciri pengetahuan modern tidak terlepas dari dua aliran besar pemikiran yang dikenal dengan rasionalisme dan empirisme. Kedua aliran ini, menjadi kerakteristik epistemologi Barat yang memancing lahirnya pemikiran-pemikiran lain, semisal kritisme, fenomenologi, positivisme, postpositivisme, strukturalisme, postrukturalisme, posmodern hingga teori kritis mazhab Frankfurt. Ragam kerakteristik pemikiran-pemikiran tersebut sebagai bagian dari gejala renaisans, dan kaum intelektual Eropa mengalami demam “kontras-paradigmatik”.

C.      Aliran-Aliran dalam Filsafat Modern
Dalam makalah ini. Penulis akan menjelaskan beberapa aliran filsafat sebagai berikut:
1. Rasionalisme
Secara etimologi, rasionalisme berasal dari kata “rasio” yang berarti akal atau pikiran. Rasionalisme merupakan suatu paham yang berpendapat bahwa “kebenaran yang tertinggi terletak dan bersumber dari akal manusia.” Rasionalisme merupakan sebuah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan.
Menurut aliran rasionalisme ini, suatu pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang kepada kebenaran. Yang benar hanyalah tindakan akal yang terang-benderang yang disebut Ideas Claires et Distinctes (pikiran yang terang-benderang dan terpilah-pilah). Idea terang-benderang ini pemberian Tuhan sebelum orang dilahirkan (idea innatae= ide bawaan). Sebagai pemberian Tuhan, maka tak mungkin tak benar.
Aliran rasionalisme ada dua macam yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama aliran rasionalisme adalah lawan dari autoritas dan biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Sedangkan dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan dari empirisme dan sering berguna dalam menyusun teori pengetahuan. Paham rasionalisme ini menganggap bahwa pengetahuan yang didapat dari empirisme dianggap sering menyesatkan. Adapun alat berpikir adalah kaidah-kaidah yang logis. Tokoh aliran rasionalisme ini yaitu Rene Descartes (1596-1650), Spinoza (1632-1677) dan Leibniz (1646-1716)
Rene Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Ia merupakan orang pertama pada Zaman Modern itu yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Descrates merupakan orang pertama di akhir Abad Pertengahan yang menyusun argumentasi kuat yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, dan bukan pula yang lainnya.
Semboyan dari aliran rasionalisme ini ialah ungkapan Descartes yang berbunyi: Cogito ergo sum/I think therefore I’m (saya berpikir maka saya ada). Dari ungkapan sederhana ini, dapat diambil beberapa rumusan, sebagai berikut:
a.       Eksistensi manusia yang paling sempurna ialah rasionya, sehingga rasio berperan sebagai “pengenal dirinya” sesuai dengan koherensi antara berpikir dan berada. Artinya keberadaan manusia terwujud/terkonsep setelah dia memikirkan dirinya.
b.      Dengan rasio, manusia berhasil menemukan kesan (pengetahuan baru) tentang dirinya yang tidak atau kurang diketahui sebelumnya, kecuali melalui sumber lain, yaitu kitab suci.
c.       Rasio tidak hanya sebagai penemu kesan (pengetahuan dan kebenaran) melainkan kebenaran/pengetahuan hanyalah yang diperoleh melalui rasio tersebut.
Tokoh lainnya yaitu Spinoza atau nama lengkapnya Baruch de Spinoza, dalam bahasa Latin disebut Benedictus dan dalam bahasa Portugis dengan Bento. Ia mencita-citakan suatu sistem berdasarkan rasionalisme, untuk mencapai kebahagiaan bagi manusia. Menurutnya aturan dan hukum yang terdapat pada semua hal tidak lain dari aturan dan hukum yang terdapat pada idea. Sebagai dasar segala-galanya harus diterima sesuatu yang tak terdasarkan kepada yang lain, jadi yang mutlak.
Spinoza adalah seorang rasionalis yang mistik. Menurut Spinoza, seluruh kenyataan merupakan kesatuan, dan kesatuan sebagai satu-satunya substansi sama dengan Tuhan atau alam. Segala sesuatu termuat dalam Tuhan-alam. Tuhan sama dengan aturan kosmos, kehendak Tuhan berarti sama dengan kehendak alam, sehingga hukum-hukum alam sama dengan kehen­dak Tuhan.
Tokoh lainnya yaitu Gottfried Eilhelm von Leibniz. Ia adalah filosof Jerman, pusat metafisikanya adalah idea tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep monad. Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi, yaitu “prinsip akal yang mencukupi”, yang secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan Tuhan harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakan-Nya.
Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak, ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda satu dari yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya  monad yang tidak dicipta) adalah pencipta monad-monad itu.

2. Empirisme
Istilah empirisme berasal dari kata “empiri” yang artinya indra atau alat indra. Aliran empirisme ini merupakan suatu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan atau kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan diperoleh atau bersumber dari panca indra manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia.
Untuk memahami inti filsafat empirisme perlu memahami dulu dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori makna dan teori tentang pengetahuan :
a.      Teori makna pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul idea atau konsep. Pada Abad Pertengahan teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Sebenarnya pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat di dalam bukunya, An Essay Concerning Human Understanding, yang dikeluarkannya tatkala ia menentang ajaran idea bawaan (innate idea) pada orang-orang rasionalis. Jiwa (mind) itu, tatkala orang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana kertas putih atau tabula rasa, yang belum ada tulisan di atasnya, dan setiap idea yang diperolehnya mestilah datang melalui pengalaman; yang dimaksud dengan pengalaman di sini ialah pengalaman inderawi. Atau pengetahuan itu datang dari obervasi yang kita lakukan terhadap jiwa (mind) kita sendiri dengan alat yang oleh Locke disebut inner sense (pengindera dalam).
b.      Teori pengetahuan dapat diringkaskan sebagai berikut : Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti “setiap kejadian tentu mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisisme menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia kebenaran a posteriori.
Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobbes (1588-1679), namun mengalami sistimatisasi pada dua tokoh berikutnya, yaitu John Locke (1632-1704) dan David Hume (1711-1776).
Menurut Francis Bacon, pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan inderawi dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Jadi pemikiran Francis Bacon ini sangat bertentangan dengan pemikiran para filosof aliran rasionalis.
Sedangkan Thomas Hobbes berpendapat bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan inderalah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain hanyalah merupakan penggabungan data-data inderawi belaka.
Tokoh lainnya yaitu John Lock, filsafat yang dibawa Locke dapat dikatakan antimetafisika. Ia menerima “keraguan” sementara yang diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh Descartes. Ia juga menolak metode deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan “pengalaman”; Jadi, induksi. Bahkan Locke menolak juga akal (reason). la hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan metode induksi.
Buku Locke, Essay Concerning Human Understanding (1689), ditulis berdasarkan satu premis, yaitu semua “pengetahuan datang dari pengalaman”. Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan idea atau konsep tentang sesuatu yang berada di belakang pengalaman, tidak ada idea yang diturunkan seperti yang diajarkan oleh Plato.Segala sesuatu berasal dari pengalaman indrawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi (konsep tabula rasa). Dengan demikian, Locke menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari akal budi) dengan penga­laman lahiriah (yang bersumber dari empiri). Ungkapan yang sering digunakan ialah: “Exprience, in that all knowledge is founded” (Pengalaman, semua pengetahuan berdasarkan pengalaman).
Tokoh lainnya lagi yaitu David Hume yang merupakan pelanjut kajian Locke. Hume merupakan seorang yang menguasai hukum, sastra dan filsafat. Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang sangat singkat, yaitu: “I never catch my self at any time with out a perception” (Saya selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya).
Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa, “seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (impression) dan impression inilah sebagai bahan dari ilmu.

3.    Kriticisme
Pendirian aliran rasionalisme dan empirisme sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasiolah sumber pengenalan atau pengetahuan, sedang empirisme sebaliknya berpendirian bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber tersebut.
Aliran kriticisme ini mencoba untuk memadukan perbedaan pendapat kedua aliran tersebut dengan tokohnya adalah Immanuel Kant (1724-1804). Ia mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini.  Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh.  Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita.  Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia.
Untuk menghilangkan pertentangan di antara rasionalisme dan empirisme, Kant mengadakan pemaduan di antara dua aliran ini dalam hal perumusan kebenaran. Dalam kaitan ini Kant mengatakan: “Pengetahuan merupakan hasil kerjasama dua unsur; pengalaman dan kearifan akal budi. Pengalaman inderawi merupakan unsur a posteriori (yang datang kemudian), sedangkan akal budi meru­pakan unsur a priori (yang datang lebih dahulu).”
Kant mengkritik empirisme dan rasionalisme, karena keduanya hanya mementingkan satu dari dua unsur ini, sehingga hasilnya setiap kali berat sebelah. Padahal, katanya, pengetahuan selalu merupakan sintesis. Untuk menekan pertentangan itu Kant megadakan tiga pembedaan perumusan kebenaran, yaitu akal budi (verstand), rasio (vernunft) dan pengalaman inderawi.

4.    Idealisme
Idealisme berasal dari kata idea yang berarti gambaran atau pemikiran. Idealisme ialah suatu pandangan dunia atau metafisika yang menyatakan bahwa realitas dasar terdiri atas, atau sangat erat hubungannya dengan ide, pikiran atau jiwa. Atau bisa disebut dengan aliran filsafat yang menjelaskan bahwa kebenaran atau pengetahuan sesungguhnya bukan bersumber dari rasio atau empiri, melainkan dari gambaran manusia tentang suatu pengamatan. Tokoh-tokoh aliran idealisme  ini diantaranya J. G. Fichte (1762-1914), W. J. Schelling (1775-1854) dan Hegel (1770-1831).
J.G. Fichte adalah tokoh idealisme subyektif, yaitu pandangan bahwa sumber pengenalan/pengetahuan bukanlah rasio teoritis atau praktis seperti kata Immanuel Kant, melainkan pada aktivitas Ego. Pemikirannya didasarkan pada konsep Ego Mutlak; yang menemukan dan meneruskan pengertian-pengertian tentang obyek; ego tidak hanya sebagai “penemu”, melainkan kata Fichte sekaligus sebagai yang “menciptakan benda-benda” (obyek). Dengan demikian, peran manusia sebagai subyek sangat dominan di dalam menggagaskan sesuatu.
Berbeda dengan Fichte, W. J. Schelling merupakan tokoh idealisme obyektif dan merupakan kebalikan dari idealisme subyektif. Menurut Schelling, kebenaran gambaran tentang dunia tidaklah ditentukan oleh subyek (ego), melainkan oleh obyek pengamatan, yaitu bagaimana obyek itu menampilkan dirinya, atau bagaimana obyek menyadarkan subyek. Apabila aku (ego) menentukan kehendak, hal itu diharuskan oleh kemestian yang mendahului kehendak, yaitu seluruh obyek pengamatan kecuali sebagai pemberi kehendak, juga sebagai pemberi arah bahkan mampu merubah kehendak.
Berbeda dari Fitchte dan Schelling, Hegel adalah tokoh idealisme mutlak, yang sangat berperan bagi penyempurnaan idealisme. Hegel berhasil menampilkan idealisme yang terpadu setelah dikoyak-koyak oleh Fichte dan Schelling. Apabila Fichte bersifat subyektif dan Schelling bersifat obyektif, maka Hegel melihat secara keseluruhan (totalitas). Membuktikan kebenarannya yang mutlak itu, Hegel menyusun alur pikir yang disebut dengan dialektika, yaitu tesis, antitesis dan sintesis.

5.         Materialisme
Berasal dari kata “materi” yang berarti benda. Materialisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa kebenaran tidaklah ditentukan oleh gambaran, melainkan oleh benda dan seluruh kenyataan yang ada dirumuskan dan ditentukan oleh benda. Aliran ini memandang bahwa realitas seluruhnya adalah materi belaka. Tokoh  aliran materialisme ini antara lain Ludwig Feuerbach (1804-1872) dan  Karl Marx (1818-1883).
Menurut Feuerbach, hanya alamlah yang ada. Manusia adalah alamiah juga seperti halnya benda seperti kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda  seperti kayu dan batu, tetapi materialisme mengatakan bahwa pada akhirnya/pada prinsipnya/pada dasarnya manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi, batu, atau pohon, tetapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
Tokoh materialisme lainnya yaitu Karl Marx mengambil ajaran dari Filsafat Hegel dan Filsafat Feurbach. Dari Hegel ia mengambil metode dialektika dan mengenai sejarah, sedang dari Feurbach ia mengambil teori materialismenya. Ajaran filsafat Karl Marx disebut juga materialisme dialektika, dan disebut juga materialisme historis. Disebut sebagai materialisme dialektika karena peristiwa kehidupan yang didominasi oleh keadaan ekonomis yang materiil itu berjalan melalui proses dialektika: tese, antitese dan sintese. Disebut materialisme historis, karena menurut teorinya, bahwa arah yang ditempuh sejarah sama sekali ditentukan oleh perkembangan sarana-sarana produksi yang materiil.

6.         Positivisme
Istilah positivisme berasal dari kata “positive” yang berarti “jelas dan bisa digambarkan serta bermanfaat”. Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif. Sesuatu di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Menurut aliran positivisme ini, pemikiran manusia mengalami perkembangan, mulai dari yang sangat sederhana, sampai yang modern, yaitu positif. Pada tahap ini manusia hanya mempercayai yang riil saja berdasarkan ilmu positif (science positive) yang didasarkan pada pengamatan (observasi) dan percobaan langsung (eksperimentasi). Melalui dua pembuktian ini, segala yang berbau metafisis dibuang, karena tidak bisa dibuktikan dengan dua pendekatan tersebut.
Tokoh aliran positivisme ini adalah Auguste Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen.
Jadi pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metoda ilmiah dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisme plus rasionalisme.

7.         Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani “phainomenon” yang mengandung arti “yang langsung nampak, sesuatu yang langsung menampakkan diri tetapi masih terselubung dan proses penampakkan”. Berpijak pada pengertian tersebut, maka fenomenologi menurut istilah yang dikembangkan ialah “filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran merupakan hasil deskripsi intuitif manusia terhadap suatu obyek sesuai dengan penampakan diri (fenomena) obyek tersebut”. Aliran fenomenologi ini berbeda dengan rasionalisme (subyektif), empirisme (obyektif) dan idealisme (idealistik). Maka fenomenologi menggabungkan di antara subyek (manusia), obyek (yang diamati) dengan cara pengamatan secara intuitif.
Tokoh aliran fenomenologi ini antara lain : Edmund Husserl (1859-1938) dan Max Scheler (1874-1928). Husserl adalah filosof Jerman dan pendiri Fenomenologi. Pemikiran terpentingnya adalah:
a.       Teori kebenaran; menurut Husserl kebenaran haruslah digabung di antara subyek dengan obyek. Obyek diberi kesempatan memperkenalkan dirinya kepada subyek yang mengamati, sesuai dengan semboyan “zurukh zu den schen selbs” (kembalilah kepada benda-benda sendiri).
b.      Tiga jenis reduksi; agar intuisi dapat menangkap gejala-gejala di atas secara benar, maka manusia harus melepaskan diri dari pengalaman-pengalaman dan gambaran sebelumnya yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Caranya ialah de­ngan tiga jenis reduksi, yaitu: reduksi fenomenologis,  reduksi eiditis, reduksi fenomenologi transendental.
Max Scheler merupakan pelanjut tradisi fenomenologi. Pemikiran eksklusif Scheler dibanding fenomenolog (filsuf fenomenologi) lainnya ialah tentang agama. Menurutnya, agama dan filsafat merupakan dua entitas otonom sesuai dengan posisinya. Kendati memiliki otonomi eksklusif, namun di antara keduanya memiliki keterikatan. Misalnya, dengan memahami metafisis dalam filsafat tidak serta merta dapat memahami konsep metafisika agama, karena keduanya memiliki aktus kodrati yang berbeda. Sebab itu kebenaran agama hanya dapat diterima atas dasar kepercayaan religius, bukan ke­benaran metafisis-filosofis.
Di dalam upaya menemukan kepercayaan religius, Scheler menggunakan pendekatan fenomenologi. Melalui pendekatan fenomenologi ini, menurut Scheler, dapat ditampilkan ciri dasar aktus religius, yaitu bahwa aktus itu mempunyai intensi yang transendental dunia (yang ilahi), dan yang ilahi ini menjadi dasar dari aktus religius. Dengan kata lain, aktus religius itu membutuhkan pemenuhan intensional dari dunia transenden. Aktus re­ligius membutuhkan suatu obyek yang tak terbatas, yaitu yang ilahi. Oleh karena itu, kebutuhan akus religius hanya dapat terpenuhi oleh sesuatu yang diyakini subyek sebagai berasal dari Tuhan.

8.    Eksistensialisme
Istilah eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist. Kata exist itu sendiri adalah bahasa Latin yang artinya: ex; keluar dan sistare; berdiri. Jadi eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Secara umum eksistensialisme dimaksudkan sebagai aliran filsafat yang membicarakan keberadaan segala sesuatu, termasuk manusia. Permasalahannya ialah, siapakah yang benar-benar berada (bereksistensi); apakah manusia, atau Tuhan atau kedua-duanya. Tokoh aliran eksistensialisme ini antara lain Martin Heidegger (1889-1976) dan Soren Kierkegard (1813-1855).
Pemikiran Heidegger ialah mengenai ada/realitas dan waktu (sein und zeit), yaitu apakah ada itu konkrit atau tidak. Persoalan yang menjadi sorotan utamanya ialah pemaknaan “Aku ada”. Menurutnya, manusia adalah suatu makhluk yang terlempar di dunia ini tanpa persetujuannya. Ia seolah berada di jurang ketiadaan (nothingness) yang sangat dalam yang menyebabkannya gelisah. Hal ini menurutnya, merupakan kelemahan manusia dan sebagai dorongan agar ia dapat memahami akan eksistensinya. Sebagai puncak eksistensi, manusia berbeda dengan benda-benda sekitarnya. Namun manusia mempunyai kecenderungan untuk menjadi suatu benda.
Sedangkan Kierkegard dipandang sebagai tokoh eksistensialisme teis, yaitu berupaya mengangkat eksistensi manusia tanpa harus membuang jauh Tuhan dari kehidupan manusia. Ungkapannya ialah: “Saya menjadi sebagaimana saya ada”. Melalui ungkapan ini Kierkegard menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berkeistensi yang berhadapan dengan eksistensi Tuhan. Hanya manusia yang bereksistensi bukan berarti yang lain tidak ada. Hanya saja tingkat eksistensi dunia, binatang-binatang dan makhluk lainnya lebih rendah, karena mereka hanya ada, tidak mengada.

9.         Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan, dan juga manfaat. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relati tidak mutlak. Tokoh Pragmatisme ini antara lain William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952)
James merupakan pendiri pragmatisme, pemikiran terpentingnya ialah mengenai makna pragmatisme. Pragmatisme merupakan filsafat ala Amerika yang berciri pragmatis. Orang Amerika tidak puas dengan filsafat teoritis yang bertanya “apa itu”, tetapi memasuki filsafat praktis yang bertanya “apa gunanya”. Sistematisasi dari jenis kedua inilah yang melahirkan filsafat pragma­tisme. Oleh karena itu, dikaitkan dengan aliran rasionalisme dan empirisme, pragmatisme berada di antara dua aliran tersebut.
Pandangan filsafatnya, diantaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena dalam praktek, apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Ukuran segala sesuatu ialah manfaat yang praktis. Pandangan ini mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk agama dan moral. Dalam kaitan dengan agama, James tidak bertanya “kebenaran agama” yang ia tanya ialah “apakah hasilnya agama menjadi pedoman hidup saya”. Jadi, manusia bebas memilih di antara percaya dan tidak percaya, sesuai dengan pertimbangan fragmatisnya. Begitu juga dalam bidang moral, ukuran baik buruk ditentukan oleh adakah manfaat dari suatu perbuatan; jika ada dipandang baik, dan jika tidak dipandang buruk.
John Dewey merupakan pengikut filsafat pragmatisme, ia menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Oleh karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara praktis. Menurutnya tak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami kesulitan, segera berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Maka dari itu berpikir tidak lain daripada alat untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil tidaknya mempengaruhi kenyataan. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metoda induktif.

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Filsafat pada zaman modern diawali dengan munculnya renaissance. Arti dari renaissance ini adalah kelahiran kembali. Kelahiran kembali yang dimaksud disini ialah kebangkitan kembali para filusuf dalam menggunakan akal atau pemikirannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sebagaimana yang telah terjadi pada zaman Yunani Kuno. selama periode abad pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, hal ini membuat kreasi dan kreativitas otak manusia terhambat untuk berpikir.
Filsafat pada zaman modern ini memiliki corak berpikir yang berorientasi pada antroposentrisme. Terdapat sejumlah aliran dalam filsafat modern ini diantaranya yaitu aliran rasionalisme, empirisme, kriticisme, idealisme, materialisme, positivisme, fenomenologi, eksistensialisme dan pragmatisme.

B.       Saran
Sebagai mahasiswa kita dituntut untuk selalu berpikir kritis dalam menghadapi berbagai persoalan yang sedang kita hadapi. Setelah melalui perkuliahan yang panjang, suatu saat nanti kita diharapkan bisa menciptakan teori sendiri dan tidak selalu bergantung pada teori ciptaan orang lain. Adanya para tokoh yang menggagaskan berbagai teori mereka haruslah itu kita jadikan sebagai motivasi. Sesungguhnya setiap manusia memiliki potensi yang sama yaitu akal pikiran. Tidak ada orang yang benar-benar pintar dan benar-benar bodoh di dunia ini. Semua itu tergantung dari bagaimanakah kita menggunakan akal yang kita miliki.




DAFTAR PUSTAKA
http://dhanalana11.blogspot.com/2013/06/aliran-aliran-yang-muncul-pada-zaman.html diakses pada hari Senin 15 Desember 2014 pukul 14.03 WIB
http://ipskreatif.pun.bz/sejarah-dan-terbentuknya-filsafat-modern.xhtml diakses pada hari Senin, 15 Desember 2014 pukul 13.42 WIB
http://lenianggraini416.blogspot.com/2012/10/makalah-filsafat-modern.html diakses pada hari Senin, 15 Desember 2014 jam 13.46 WIB



Tidak ada komentar:

Posting Komentar