FILSAFAT MODERN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat merupakan cara atau kegiatan berpikir yang bebas, kritis
dan, mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai tidak ada jawaban dan
pertanyaan. Filsafat ada karena manusia berpikir. Manusia merupakan makhluk
yang diciptakan dengan segala kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain
di bumi seperti hewan dan tumbuhan. Salah satu potensi yang manusia miliki adalah akal atau pikiran yang ada dalam
otaknya. Manusia dan hewan sama-sama memiliki
otak, namun otak pada manusia bersifat dinamis dalam artian selalu berkembang
dari waktu ke waktu atau tidak tetap,
sedangkan otak pada hewan bersifat statis. Sebagaimana yang telah kita ketahui,
adanya ilmu pengetahuan adalah dimulai dari kegiatan berfilsafat. Karena ada
filsafatlah, maka ada ilmu pengetahuan.
Ditinjau dari sudut sejarah, filsafat memiliki empat periodisasi.
Periodisasi ini didasarkan atas corak pemikiran yang dominan pada waktu itu.
Pertama, adalah zaman Yunani Kuno, ciri yang menonjol dari filsafat Yunani Kuno
adalah ditujukannya perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik
sebagai ikhtiar guna menemukan asal mula (arche) yang merupakan unsur
awal terjadinya gejala-gejala. Para filosof pada masa ini mempertanyakan asal
usul alam semesta dan jagad raya, sehingga ciri pemikiran filsafat pada zaman
ini disebut kosmosentris. Kedua, adalah zaman Abad Pertengahan, ciri
pemikiran filsafat pada zaman ini disebut teosentris. Para filosof pada
masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama
Kristiani, akibatnya perkembangan alam pemikiran Eropa pada abad pertengahan
sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama,
sehingga pemikiran filsafat terlalu seragam bahkan dipandang seakan-akan tidak
penting bagi sejarah pemikiran filsafat sebenarnya. Ketiga, adalah zaman Abad
Modern, para filosof zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisis
filsafat, maka corak filsafat zaman ini lazim disebut antroposentris.
Keempat, adalah Abad Kontemporer atau Post-modernisme yang mamiliki ciri pokok
pemikiran logosentris, artinya teks menjadi tema sentral diskursus
filsafat.
Dalam makalah yang penulis susun ini, penulis ingin menjelaskan
tentang filsafat pada periode modern dimulai dari latar belakang terbentuknya
hingga menjelaskan beberapa aliran
filsafat dalam periode modern ini beserta para tokohnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka penulis
membuat sejumlah rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa yang
dimaksud dengan renaissance dan bagaimana awal perkembangan filsafat
modern?
2.
Bagaimana
karakteristik dari filsafat modern?
3.
Apa saja
aliran-aliran dalam filsafat modern?
C.
Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penyusunan
makalah ini antara lain :
1.
Untuk memahami
tentang renaissance dan mengetahui awal perkembangan filsafat modern.
2.
Untuk
mengetahui karakteristik dari filsafat modern.
3.
Untuk mengetahui
aliran-aliran dalam filsafat modern.
D.
Manfaat
Manfaat yang bisa penulis ambil dari penyusanan makalah ini antara
lain :
1.
Menambah
wawasan penulis mengenai filsafat modern.
2.
Menambah
keterampilan penulis dalam menyusun sebuah makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Renaissance dan Awal Perkembangan Filsafat Modern
Dari beberapa sumber literatur yang ada, terjadi perbedaan dalam
penetapan waktu dimulainya filsafat modern. Ada yang mengatakan bahwa filsafat
modern dimulai dari abad 17 Masehi sampai abad 19 Masehi dan ada juga yang
mengatakan bahwa filsafat modern dimulai pada abad ke 15 sampai abad 19 Masehi.
Namun dalam hal ini pemikiran penulis lebih condong pada sumber yang mengatakan
bahwa filsafat modern dimulai pada abad ke 15 Masehi.
Filsafat
modern dimulai dengan adanya renaissance yang muncul pada sekitar abad
ke-15 Masehi. Kata “renaissance” sendiri berasal dari bahasa Prancis
yang berarti "kelahiran kembali (rebirth)". Istilah renaissance
ini biasanya digunakan oleh para ahli sejarah untuk menunjuk berbagai
periode kebangkitan intelektual yang terjadi di Eropa, khususnya di Italia
sepanjang abad ke-15 dan ke-16.
Selain
itu, maksud dari kelahiran kembali disini adalah karena adanya kerinduan akan
pemikiran filsafat zaman Yunani klasik yang bebas tanpa adanya dogma-dogma yang
mengikat sehingga para filsuf abad ini mencoba untuk membangkitkan kembali
pemikiran-pemikiran filsafat yang radikal. Renaissance ditandai oleh
kelahiran kembali di berbagai ilmu, seperti ilmu sastra, kesenian, filsafat,
dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan alam berkembang pesat berdasarkan metode
eksperimental.
Pada
zaman renaissance manusia disebut sebagai animal rationale,
karena pada masa ini pemikiran manusia mulai bebas dan berkembang. Manusia
ingin mencapai kemajuan (progress) atas hasil usaha sendiri, tidak
didasarkan atas campur tangan Illahi.
Zaman
renaissance sering disebut sebagai zaman humanisme, sebab pada
abad pertengahan manusia kurang dihargai sebagai manusia, kebenaran diukur
berdasarkan kebenaran gereja, bukan menurut yang dibuat oleh manusia. Humanisme
menghendaki ukuran haruslah manusia, karena manusia mempunyai kemampuan
berpikir, berkreasi, memilih dan menentukan, maka humanisme menganggap manusia
mampu mengatur dirinya dan mengatur dunianya. Ciri utama renaissance
dengan demikian adalah humanisme, individualisme serta terlepas dari agama.
Manusia sudah mengandalkan akal (rasio) dan pengalaman (empiris) dalam merumuskan
pengetahuan, meskipun harus diakui bahwa filsafat belum menemukan bentuk pada
zaman renaissance, melainkan pada zaman sesudahnya, yang berkembang pada
waktu itu sains, dan penemuan-penemuan dari hasil pengembangan sains yang
kemudian berimplikasi pada semakin ditinggalkan agama kristen karena semangat
humanisme. Fenomena tersebut cukup tampak pada abad modern.
Ilmu
pengetahuan yang mengalami perkembangan yang pesat pada masa renaissance ini
adalah astronomi. Beberapa tokoh yang terkemuka pada masa adalah Copernicus
(1473 - 1543), Tycho Brahe (1546
- 1601), Johannes Keppeler (1571
- 1630), dan Galileo Galilei (1546 - 1642).
Selain
itu, pada zaman modern ini telah membangkitkan pula gerakan Aufklarung,
suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan, manusia secara
natural akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme Aufklarung
serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai macam aliran sebagai
akibat dari pergumulan filsafat modern yang menjadi multi-aplikatif telah
menghasilkan krisis budaya.
Semua
itu menunjukkan bahwa perkembangan filsafat tampaknya berjalan dalam dialektika
antara pola absolutisasi dan pola relativisasi, yang ditandai dengan lahirnya
aliran-aliran dasar seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan
realisme. Namun, disamping itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu
adalah selalu pengetahuan manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui,
manusialah yang mengetahui. Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran dan
kepastian di dalam hidup dan kehidupan manusia.
B.
Karakteristik Filsafat Modern
Zaman
modern merupakan zaman tegaknya corak pemikiran filsafat yang berorientasi antroposentrisme,
sebab manusia menjadi pusat perhatian. Pada masa Yunani dan abad pertengahan
filsafat selalu mencari substansi prinsip induk seluruh kenyataan. Para filsuf
Yunani menemukan unsur-unsur kosmologi sebagai prinsip induk segala sesuatu
yang ada. Sementara para tokoh abad pertengahan, Tuhan menjadi prinsip bagi
segala yang ada, namun pada zaman modern, peranan substansi diambil alih oleh
manusia sebagai ‘subjek’ yang terletak di bawah seluruh kenyataan, dan memikul
seluruh kenyataan yang melingkupinya. Letak
perbedaan lain antara filsafat abad pertengahan dengan abad modern yaitu
terletak pada otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada abad
pertengahan otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan
dogma-dogmanya, maka pada zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada
kemampuan akal manusia itu sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau diikat
oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri
yaitu akal. Kekuasaan yang mengikat itu adalah agama dengan gerejanya serta
Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut. Oleh karena itu zaman modern sering
disebut sebagai zaman pembentukan ‘subjektivitas’, karena seluruh sejarah
filsafat zaman modern dapat dilihat sebagai satu mata rantai perkembangan
pemikiran mengenai subjektivitas. Semua filsuf zaman modern menyelidiki
segi-segi subjek manusiawi. Aku sebagai pusat pemikiran, pusat pengamatan,
pusat kebebasan, pusat tindakan pusat kehendak, dan pusat perasaan. Peradaban
Eropa modern terbentang mulai dari abad ke-15 hingga abad ke-19 dengan watak
pemberontakannya terhadap periode pertengahan. Bertrand Russel, sebagaimana
dikutip dalam lenianggraini416.blogspot.com mengemukakan lima
perbedaan antara periode modern dengan periode pertengahan, yaitu sebagai
berikut :
1.
Berkurangnya
otoritas gereja dan meningkatnya otoritas ilmu.
2.
Kekuasaan
gereja yang semula dominan mulai berkurang dan digantikan fungsinya oleh raja.
3.
Jika
abad pertengahan manusia berusaha memahami dunia (theorical science),
maka masa modern manusia berusaha mengubah dunia (practical science).
4.
Jika
pada masa pertengahan manusia yang berusaha memahami dunia dan tidak sesuai
dengan isi kitab suci maka akan dihukum. Tetapi pada masa modern penolakan
terhadap kitab suci dianggap sah jika menemukan sebuah teori yang dilandasi
oleh ilmu pengetahuan.
5.
Kebebasan
dari otoritas gereja menimbulkan individualisme atau bahkan anarkisme.
Selain
itu, Berman juga mengidentifikasi tiga fase perbedaan secara historis
perkembangan modernitas dari abad ke-13 hingga abad ke-18, yaitu :
1.
Pengalaman
kehidupan modern.
2.
Revolusi
Prancis dan munculnya pergolakan sosial, politik, serta kehidupan individu yang
berkenaan dengan gelombang revolusi besar pada 1790.
3.
Kemudian
terjadi peleburan proses modernisasi dan perkembangan budaya dunia modern yang
lebih mempercepat perubahan di bidang sosial dan kehidupan politik yang
berdampak munculnya bentuk pengalaman baru.
Berman
menyoroti modernitas dari sisi gejolak sosial politik yang terjadi. Dia melihat
struktur masyarakat Eropa modern dibangun dari beberapa momen perubahan sosial
politik yang melanda Eropa dari rentang waktu abad 13 Masehi hingga abad 18
Masehi. Gejolak sosial politik diyakini sebagai bagian dari dampak dinamis
prinsip-prinsip perkembangan ilmu pengetahuan.
Modernisasi
juga berhubungan dengan industrialisasi. Modernisasi merupakan petunjuk jalan
untuk memperlihatkan kunci bagi modernitasi dalam mengubah kesadaran
masyarakat. Dalam artian luas, modernisasi dapat dipahami sebagai sebuah
keberanian dan pengakuan kesadaran sebagai kekuatan dalam dirinya. Dengan
demikian, era modern ditandai dengan usaha manusia untuk mengoptimalkan potensi
diri dalam mengindera, berpikir, dan melakukan berbagai eksprimen mengelola
alam.
Ciri
pengetahuan modern tidak terlepas dari dua aliran besar pemikiran yang dikenal
dengan rasionalisme dan empirisme. Kedua aliran ini, menjadi
kerakteristik epistemologi Barat yang memancing lahirnya pemikiran-pemikiran
lain, semisal kritisme, fenomenologi, positivisme, postpositivisme,
strukturalisme, postrukturalisme, posmodern hingga teori kritis mazhab
Frankfurt. Ragam kerakteristik pemikiran-pemikiran tersebut sebagai bagian
dari gejala renaisans, dan kaum intelektual Eropa mengalami demam
“kontras-paradigmatik”.
C.
Aliran-Aliran
dalam Filsafat Modern
Dalam makalah
ini. Penulis akan menjelaskan beberapa aliran filsafat sebagai berikut:
1. Rasionalisme
Secara etimologi, rasionalisme berasal
dari kata “rasio” yang berarti akal atau pikiran. Rasionalisme merupakan
suatu paham yang berpendapat bahwa “kebenaran yang tertinggi terletak dan
bersumber dari akal manusia.” Rasionalisme merupakan sebuah paham
filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting
untuk memperoleh pengetahuan.
Menurut aliran rasionalisme ini, suatu
pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Hanya rasio sajalah yang dapat
membawa orang kepada kebenaran. Yang benar hanyalah tindakan akal yang
terang-benderang yang disebut Ideas Claires et Distinctes (pikiran yang
terang-benderang dan terpilah-pilah). Idea terang-benderang ini pemberian Tuhan
sebelum orang dilahirkan (idea innatae= ide bawaan). Sebagai pemberian
Tuhan, maka tak mungkin tak benar.
Aliran rasionalisme ada dua
macam yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama
aliran rasionalisme adalah lawan dari autoritas dan biasanya digunakan
untuk mengkritik ajaran agama. Sedangkan dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah
lawan dari empirisme dan sering berguna dalam menyusun teori
pengetahuan. Paham rasionalisme ini menganggap bahwa pengetahuan yang
didapat dari empirisme dianggap sering menyesatkan. Adapun alat berpikir
adalah kaidah-kaidah yang logis. Tokoh aliran
rasionalisme ini yaitu Rene Descartes (1596-1650), Spinoza
(1632-1677) dan Leibniz (1646-1716)
Rene Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat
Modern. Ia merupakan orang pertama pada Zaman Modern itu yang membangun
filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh
pengetahuan akliah. Descrates merupakan orang pertama di akhir Abad Pertengahan
yang menyusun argumentasi kuat yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah
akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, dan bukan pula yang lainnya.
Semboyan dari aliran rasionalisme ini
ialah ungkapan Descartes yang berbunyi: Cogito ergo sum/I think
therefore I’m (saya berpikir maka saya ada). Dari ungkapan sederhana
ini, dapat diambil beberapa rumusan, sebagai berikut:
a.
Eksistensi manusia yang paling sempurna ialah
rasionya, sehingga rasio berperan sebagai “pengenal dirinya” sesuai dengan
koherensi antara berpikir dan berada. Artinya keberadaan manusia
terwujud/terkonsep setelah dia memikirkan dirinya.
b.
Dengan rasio, manusia berhasil menemukan kesan
(pengetahuan baru) tentang dirinya yang tidak atau kurang diketahui sebelumnya,
kecuali melalui sumber lain, yaitu kitab suci.
c.
Rasio tidak hanya sebagai penemu kesan
(pengetahuan dan kebenaran) melainkan kebenaran/pengetahuan hanyalah yang
diperoleh melalui rasio tersebut.
Tokoh lainnya yaitu Spinoza atau nama
lengkapnya Baruch de Spinoza, dalam bahasa Latin disebut Benedictus
dan dalam bahasa Portugis dengan Bento. Ia mencita-citakan suatu sistem
berdasarkan rasionalisme, untuk mencapai kebahagiaan bagi manusia.
Menurutnya aturan dan hukum yang terdapat pada semua hal tidak lain dari aturan
dan hukum yang terdapat pada idea. Sebagai dasar segala-galanya harus diterima
sesuatu yang tak terdasarkan kepada yang lain, jadi yang mutlak.
Spinoza adalah seorang rasionalis yang mistik.
Menurut Spinoza, seluruh kenyataan merupakan kesatuan, dan kesatuan sebagai
satu-satunya substansi sama dengan Tuhan atau alam. Segala sesuatu termuat
dalam Tuhan-alam. Tuhan sama dengan aturan kosmos, kehendak Tuhan berarti sama
dengan kehendak alam, sehingga hukum-hukum alam sama dengan kehendak Tuhan.
Tokoh lainnya yaitu Gottfried Eilhelm von
Leibniz. Ia adalah filosof Jerman, pusat metafisikanya adalah idea tentang
substansi yang dikembangkan dalam konsep monad. Metafisika Leibniz sama
memusatkan perhatian pada substansi, yaitu “prinsip akal yang mencukupi”,
yang secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan
Tuhan harus mempunyai alasan untuk setiap yang diciptakan-Nya.
Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak,
ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad
berbeda satu dari yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang supermonad dan satu-satunya monad
yang tidak dicipta) adalah pencipta monad-monad itu.
2. Empirisme
Istilah empirisme berasal dari kata “empiri” yang artinya
indra atau alat indra. Aliran empirisme ini merupakan suatu
aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan atau kebenaran yang sempurna tidak
diperoleh melalui akal, melainkan diperoleh atau bersumber dari panca indra
manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain,
kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia.
Untuk memahami inti filsafat empirisme perlu
memahami dulu dua ciri pokok empirisme, yaitu mengenai teori makna dan
teori tentang pengetahuan :
a.
Teori makna pada aliran empirisme biasanya
dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul idea atau
konsep. Pada Abad Pertengahan teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil
est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak
ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Sebenarnya
pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat di dalam bukunya, An
Essay Concerning Human Understanding, yang dikeluarkannya tatkala ia
menentang ajaran idea bawaan (innate idea) pada orang-orang rasionalis.
Jiwa (mind) itu, tatkala orang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana
kertas putih atau tabula rasa, yang belum ada tulisan di atasnya,
dan setiap idea yang diperolehnya mestilah datang melalui pengalaman; yang
dimaksud dengan pengalaman di sini ialah pengalaman inderawi. Atau pengetahuan
itu datang dari obervasi yang kita lakukan terhadap jiwa (mind) kita
sendiri dengan alat yang oleh Locke disebut inner sense (pengindera
dalam).
b.
Teori pengetahuan dapat diringkaskan sebagai
berikut : Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti “setiap
kejadian tentu mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip
dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal
dengan istilah kebenaran a priori yang diperoleh lewat intuisi
rasional. Empirisisme menolak pendapat itu. Tidak ada kemampuan intuisi
rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran yang diperoleh
lewat observasi jadi ia kebenaran a posteriori.
Aliran empirisme dibangun oleh
Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobbes (1588-1679), namun
mengalami sistimatisasi pada dua tokoh berikutnya, yaitu John Locke (1632-1704)
dan David Hume (1711-1776).
Menurut Francis Bacon, pengetahuan yang
sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan inderawi
dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan
haruslah dicapai dengan induksi. Jadi pemikiran Francis Bacon ini sangat
bertentangan dengan pemikiran para filosof aliran rasionalis.
Sedangkan Thomas Hobbes berpendapat
bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Hanya sesuatu
yang dapat disentuh dengan inderalah yang merupakan kebenaran. Pengetahuan
intelektual (rasio) tidak lain hanyalah merupakan penggabungan data-data
inderawi belaka.
Tokoh lainnya yaitu John Lock, filsafat
yang dibawa Locke dapat dikatakan antimetafisika. Ia menerima “keraguan” sementara
yang diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh
Descartes. Ia juga menolak metode deduktif Descartes dan menggantinya dengan
generalisasi berdasarkan “pengalaman”; Jadi, induksi. Bahkan Locke menolak
juga akal (reason). la hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan
cara penarikan dengan metode induksi.
Buku Locke, Essay Concerning Human
Understanding (1689), ditulis berdasarkan satu premis, yaitu semua “pengetahuan
datang dari pengalaman”. Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan idea atau
konsep tentang sesuatu yang berada di belakang pengalaman, tidak ada idea yang
diturunkan seperti yang diajarkan oleh Plato.Segala sesuatu berasal dari
pengalaman indrawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang
masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi (konsep tabula
rasa). Dengan demikian, Locke menyamakan pengalaman batiniah (yang
bersumber dari akal budi) dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari
empiri). Ungkapan yang sering digunakan ialah: “Exprience, in that all
knowledge is founded” (Pengalaman, semua pengetahuan berdasarkan
pengalaman).
Tokoh lainnya lagi yaitu David Hume yang
merupakan pelanjut kajian Locke. Hume merupakan seorang yang menguasai hukum,
sastra dan filsafat. Pemikiran
empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang sangat singkat, yaitu: “I
never catch my self at any time with out a perception” (Saya selalu
memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya).
Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa,
“seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (impression)
dan impression inilah sebagai bahan dari ilmu.
3.
Kriticisme
Pendirian aliran rasionalisme dan empirisme
sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa rasiolah
sumber pengenalan atau pengetahuan, sedang empirisme sebaliknya
berpendirian bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber tersebut.
Aliran kriticisme ini mencoba untuk
memadukan perbedaan pendapat kedua aliran tersebut dengan tokohnya adalah Immanuel Kant (1724-1804). Ia
mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan
ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan
salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari
indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana
kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam
manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia.
Untuk menghilangkan pertentangan di
antara rasionalisme dan empirisme, Kant mengadakan
pemaduan di antara dua aliran ini dalam hal perumusan kebenaran. Dalam kaitan
ini Kant mengatakan: “Pengetahuan merupakan hasil kerjasama dua unsur;
pengalaman dan kearifan akal budi. Pengalaman inderawi merupakan unsur a
posteriori (yang datang kemudian), sedangkan akal budi merupakan unsur a priori
(yang datang lebih dahulu).”
Kant mengkritik empirisme dan rasionalisme,
karena keduanya hanya mementingkan satu dari dua unsur ini, sehingga hasilnya
setiap kali berat sebelah. Padahal, katanya, pengetahuan selalu merupakan
sintesis. Untuk menekan pertentangan itu Kant megadakan tiga pembedaan perumusan
kebenaran, yaitu akal budi (verstand), rasio (vernunft) dan
pengalaman inderawi.
4.
Idealisme
Idealisme berasal dari kata idea yang
berarti gambaran atau pemikiran. Idealisme ialah suatu pandangan dunia
atau metafisika yang menyatakan bahwa realitas dasar terdiri atas, atau sangat
erat hubungannya dengan ide, pikiran atau jiwa. Atau bisa disebut dengan aliran
filsafat yang menjelaskan bahwa kebenaran atau pengetahuan sesungguhnya bukan
bersumber dari rasio atau empiri, melainkan dari gambaran manusia
tentang suatu pengamatan. Tokoh-tokoh aliran idealisme ini diantaranya J. G. Fichte (1762-1914),
W. J. Schelling (1775-1854) dan Hegel (1770-1831).
J.G. Fichte adalah tokoh idealisme subyektif, yaitu
pandangan bahwa sumber pengenalan/pengetahuan bukanlah rasio teoritis atau
praktis seperti kata Immanuel Kant, melainkan pada aktivitas Ego. Pemikirannya
didasarkan pada konsep Ego Mutlak; yang menemukan dan meneruskan pengertian-pengertian
tentang obyek; ego tidak hanya sebagai “penemu”, melainkan kata Fichte
sekaligus sebagai yang “menciptakan benda-benda” (obyek). Dengan demikian,
peran manusia sebagai subyek sangat dominan di dalam menggagaskan sesuatu.
Berbeda dengan Fichte, W. J. Schelling merupakan
tokoh idealisme obyektif dan merupakan kebalikan dari idealisme
subyektif. Menurut Schelling, kebenaran gambaran tentang dunia tidaklah
ditentukan oleh subyek (ego), melainkan oleh obyek pengamatan, yaitu bagaimana
obyek itu menampilkan dirinya, atau bagaimana obyek menyadarkan subyek. Apabila
aku (ego) menentukan kehendak, hal itu diharuskan oleh kemestian yang
mendahului kehendak, yaitu seluruh obyek pengamatan kecuali sebagai pemberi
kehendak, juga sebagai pemberi arah bahkan mampu merubah kehendak.
Berbeda dari Fitchte dan Schelling, Hegel
adalah tokoh idealisme mutlak, yang sangat berperan bagi penyempurnaan
idealisme. Hegel berhasil menampilkan idealisme yang terpadu setelah
dikoyak-koyak oleh Fichte dan Schelling. Apabila Fichte bersifat subyektif dan
Schelling bersifat obyektif, maka Hegel melihat secara keseluruhan (totalitas). Membuktikan kebenarannya yang mutlak
itu, Hegel menyusun alur pikir yang disebut dengan dialektika, yaitu tesis,
antitesis dan sintesis.
5.
Materialisme
Berasal dari kata “materi” yang berarti
benda. Materialisme adalah aliran filsafat yang berpendapat
bahwa kebenaran tidaklah ditentukan oleh gambaran, melainkan oleh benda dan
seluruh kenyataan yang ada dirumuskan dan ditentukan oleh benda. Aliran ini
memandang bahwa realitas seluruhnya adalah materi belaka. Tokoh aliran materialisme ini antara lain Ludwig
Feuerbach (1804-1872) dan Karl
Marx (1818-1883).
Menurut Feuerbach, hanya alamlah yang ada.
Manusia adalah alamiah juga seperti halnya benda seperti kayu dan batu. Memang
orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda seperti
kayu dan batu, tetapi materialisme mengatakan bahwa pada
akhirnya/pada prinsipnya/pada dasarnya manusia hanyalah sesuatu yang material;
dengan kata lain materi, betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia
lebih unggul ketimbang sapi, batu, atau pohon, tetapi pada eksistensinya
manusia sama saja dengan sapi.
Tokoh materialisme
lainnya yaitu Karl Marx mengambil ajaran dari Filsafat Hegel dan
Filsafat Feurbach. Dari Hegel ia mengambil metode dialektika dan mengenai sejarah,
sedang dari Feurbach ia mengambil teori materialismenya. Ajaran filsafat Karl
Marx disebut juga materialisme dialektika, dan disebut juga materialisme
historis. Disebut sebagai materialisme dialektika karena peristiwa
kehidupan yang didominasi oleh keadaan ekonomis yang materiil itu berjalan
melalui proses dialektika: tese, antitese dan sintese. Disebut
materialisme historis, karena menurut teorinya, bahwa arah yang ditempuh
sejarah sama sekali ditentukan oleh perkembangan sarana-sarana produksi yang
materiil.
6.
Positivisme
Istilah positivisme berasal dari kata “positive”
yang berarti “jelas dan bisa digambarkan serta bermanfaat”. Positivisme
adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif. Sesuatu di luar
fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu
pengetahuan.
Menurut aliran positivisme ini,
pemikiran manusia mengalami perkembangan, mulai dari yang sangat sederhana,
sampai yang modern, yaitu positif. Pada tahap ini manusia hanya mempercayai
yang riil saja berdasarkan ilmu positif (science positive) yang
didasarkan pada pengamatan (observasi) dan percobaan langsung (eksperimentasi).
Melalui dua pembuktian ini, segala yang berbau metafisis dibuang, karena tidak
bisa dibuktikan dengan dua pendekatan tersebut.
Tokoh aliran positivisme ini adalah Auguste Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa indera itu
amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat
bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi
lewat eksperimen.
Jadi pada dasarnya positivisme bukanlah suatu
aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme
yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metoda ilmiah dengan
memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme
itu sama dengan empirisme plus rasionalisme.
7.
Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa
Yunani “phainomenon” yang mengandung arti “yang langsung nampak, sesuatu
yang langsung menampakkan diri tetapi masih terselubung dan proses
penampakkan”. Berpijak pada pengertian tersebut, maka fenomenologi menurut
istilah yang dikembangkan ialah “filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran
merupakan hasil deskripsi intuitif manusia terhadap suatu obyek sesuai dengan
penampakan diri (fenomena) obyek tersebut”. Aliran fenomenologi ini berbeda
dengan rasionalisme (subyektif), empirisme (obyektif) dan idealisme
(idealistik). Maka fenomenologi menggabungkan di antara subyek (manusia), obyek
(yang diamati) dengan cara pengamatan secara intuitif.
Tokoh aliran
fenomenologi ini antara lain : Edmund Husserl (1859-1938) dan Max
Scheler (1874-1928). Husserl adalah filosof Jerman dan pendiri
Fenomenologi. Pemikiran terpentingnya adalah:
a.
Teori kebenaran; menurut
Husserl kebenaran haruslah digabung di antara subyek dengan obyek. Obyek diberi
kesempatan memperkenalkan dirinya kepada subyek yang mengamati, sesuai dengan
semboyan “zurukh zu den schen selbs” (kembalilah kepada benda-benda
sendiri).
b. Tiga jenis
reduksi;
agar intuisi dapat menangkap gejala-gejala di atas secara benar, maka manusia
harus melepaskan diri dari pengalaman-pengalaman dan gambaran sebelumnya yang diperoleh
dalam kehidupan sehari-hari. Caranya ialah dengan tiga jenis reduksi,
yaitu: reduksi fenomenologis, reduksi eiditis, reduksi
fenomenologi transendental.
Max Scheler merupakan pelanjut tradisi fenomenologi.
Pemikiran eksklusif Scheler dibanding fenomenolog (filsuf fenomenologi) lainnya
ialah tentang agama. Menurutnya, agama dan filsafat merupakan dua entitas
otonom sesuai dengan posisinya. Kendati memiliki otonomi eksklusif, namun di antara
keduanya memiliki keterikatan. Misalnya, dengan memahami metafisis dalam
filsafat tidak serta merta dapat memahami konsep metafisika agama, karena
keduanya memiliki aktus kodrati yang berbeda. Sebab itu kebenaran agama hanya
dapat diterima atas dasar kepercayaan religius, bukan kebenaran
metafisis-filosofis.
Di dalam upaya menemukan kepercayaan religius,
Scheler menggunakan pendekatan fenomenologi. Melalui pendekatan fenomenologi
ini, menurut Scheler, dapat ditampilkan ciri dasar aktus religius,
yaitu bahwa aktus itu mempunyai intensi yang transendental dunia (yang ilahi),
dan yang ilahi ini menjadi dasar dari aktus religius. Dengan kata lain, aktus
religius itu membutuhkan pemenuhan intensional dari dunia
transenden. Aktus religius membutuhkan suatu obyek yang tak
terbatas, yaitu yang ilahi. Oleh karena itu, kebutuhan akus religius hanya
dapat terpenuhi oleh sesuatu yang diyakini subyek sebagai berasal dari Tuhan.
8.
Eksistensialisme
Istilah eksistensialisme berasal dari
kata eksistensi dari kata dasar exist. Kata exist itu sendiri
adalah bahasa Latin yang artinya: ex; keluar dan sistare;
berdiri. Jadi eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.
Secara umum eksistensialisme dimaksudkan sebagai aliran filsafat yang
membicarakan keberadaan segala sesuatu, termasuk manusia. Permasalahannya ialah,
siapakah yang benar-benar berada (bereksistensi); apakah manusia, atau Tuhan
atau kedua-duanya. Tokoh aliran eksistensialisme
ini antara lain Martin Heidegger (1889-1976) dan Soren Kierkegard
(1813-1855).
Pemikiran Heidegger ialah mengenai ada/realitas
dan waktu (sein und zeit), yaitu apakah ada itu konkrit atau
tidak. Persoalan yang menjadi sorotan utamanya ialah pemaknaan “Aku ada”.
Menurutnya, manusia adalah suatu makhluk yang terlempar di dunia ini tanpa
persetujuannya. Ia seolah berada di jurang ketiadaan (nothingness) yang
sangat dalam yang menyebabkannya gelisah. Hal ini menurutnya, merupakan
kelemahan manusia dan sebagai dorongan agar ia dapat memahami akan
eksistensinya. Sebagai puncak eksistensi, manusia berbeda dengan benda-benda
sekitarnya. Namun manusia mempunyai kecenderungan untuk menjadi suatu benda.
Sedangkan Kierkegard
dipandang sebagai tokoh eksistensialisme teis, yaitu berupaya mengangkat
eksistensi manusia tanpa harus membuang jauh Tuhan dari kehidupan manusia. Ungkapannya
ialah: “Saya menjadi sebagaimana saya ada”. Melalui ungkapan ini Kierkegard
menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berkeistensi yang berhadapan
dengan eksistensi Tuhan. Hanya manusia yang bereksistensi bukan berarti yang
lain tidak ada. Hanya saja tingkat eksistensi dunia, binatang-binatang dan
makhluk lainnya lebih rendah, karena mereka hanya ada, tidak mengada.
9.
Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa
Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan, dan juga manfaat. Pragmatisme adalah
aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah,
apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu kebenaran
sifatnya menjadi relati tidak mutlak. Tokoh
Pragmatisme ini antara lain William James (1842-1910) dan John Dewey
(1859-1952)
James merupakan pendiri pragmatisme, pemikiran
terpentingnya ialah mengenai makna pragmatisme. Pragmatisme merupakan filsafat
ala Amerika yang berciri pragmatis. Orang Amerika tidak puas dengan filsafat
teoritis yang bertanya “apa itu”, tetapi memasuki filsafat praktis yang
bertanya “apa gunanya”. Sistematisasi dari jenis kedua inilah yang melahirkan
filsafat pragmatisme. Oleh karena itu, dikaitkan dengan aliran rasionalisme
dan empirisme, pragmatisme berada di antara dua aliran tersebut.
Pandangan filsafatnya, diantaranya menyatakan
bahwa tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat tetap, yang
berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan
terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu
senantiasa berubah, karena dalam praktek, apa yang kita anggap benar dapat
dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Ukuran segala sesuatu ialah manfaat yang
praktis. Pandangan ini mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk agama dan
moral. Dalam kaitan dengan agama, James tidak bertanya “kebenaran agama” yang
ia tanya ialah “apakah hasilnya agama menjadi pedoman hidup saya”. Jadi,
manusia bebas memilih di antara percaya dan tidak percaya, sesuai dengan
pertimbangan fragmatisnya. Begitu juga dalam bidang moral, ukuran baik buruk
ditentukan oleh adakah manfaat dari suatu perbuatan; jika ada dipandang baik,
dan jika tidak dipandang buruk.
John Dewey merupakan pengikut filsafat pragmatisme,
ia menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan
nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang
kurang praktis, tidak ada faedahnya. Oleh karena itu, filsafat harus berpijak
pada pengalaman dan mengolahnya secara praktis. Menurutnya tak ada sesuatu yang
tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami kesulitan,
segera berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Maka dari itu berpikir tidak
lain daripada alat untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat ditinjau
dari berhasil tidaknya mempengaruhi kenyataan. Satu-satunya cara yang dapat
dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang
sebenarnya adalah metoda induktif.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat pada zaman modern diawali dengan munculnya renaissance.
Arti dari renaissance ini adalah kelahiran kembali. Kelahiran kembali
yang dimaksud disini ialah kebangkitan kembali para filusuf dalam menggunakan
akal atau pemikirannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sebagaimana yang
telah terjadi pada zaman Yunani Kuno. selama periode abad pertengahan otoritas
kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, hal ini membuat
kreasi dan kreativitas otak manusia terhambat untuk berpikir.
Filsafat pada zaman modern ini memiliki corak berpikir yang
berorientasi pada antroposentrisme. Terdapat sejumlah aliran dalam
filsafat modern ini diantaranya yaitu aliran rasionalisme, empirisme,
kriticisme, idealisme, materialisme, positivisme, fenomenologi,
eksistensialisme dan pragmatisme.
B.
Saran
Sebagai mahasiswa kita dituntut untuk selalu berpikir kritis dalam
menghadapi berbagai persoalan yang sedang kita hadapi. Setelah melalui
perkuliahan yang panjang, suatu saat nanti kita diharapkan bisa menciptakan
teori sendiri dan tidak selalu bergantung pada teori ciptaan orang lain. Adanya
para tokoh yang menggagaskan berbagai teori mereka haruslah itu kita jadikan
sebagai motivasi. Sesungguhnya setiap manusia memiliki potensi yang sama yaitu
akal pikiran. Tidak ada orang yang benar-benar pintar dan benar-benar bodoh di
dunia ini. Semua itu tergantung dari bagaimanakah kita menggunakan akal yang
kita miliki.
DAFTAR PUSTAKA
http://dhanalana11.blogspot.com/2013/06/aliran-aliran-yang-muncul-pada-zaman.html diakses
pada hari Senin 15 Desember 2014 pukul 14.03 WIB
http://ipskreatif.pun.bz/sejarah-dan-terbentuknya-filsafat-modern.xhtml diakses pada hari Senin, 15 Desember 2014 pukul
13.42 WIB
http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/22/filsafat-modern-dan-pembentukannya-renaisans-rasionalisme-dan-empirisme/ diakses pada hari Senin, 15 Desember 2014 pukul 13.58 WIB
http://lenianggraini416.blogspot.com/2012/10/makalah-filsafat-modern.html diakses pada hari Senin, 15 Desember 2014 jam 13.46 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar