HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Otonomi Daerah
Dosen Pengampu
Dr. Yaya M. Abdul Aziz, M.Si.
Dosen Pengampu
Dr. Yaya M. Abdul Aziz, M.Si.
Oleh :
Budi Hartono (132010130)
Shafa Atsar Nastiti (132010134)
Desta
Ahmad Maulana (132010141)
Andika Syahputra (132010155)
Aditia Laksana (132010199)
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS
PASUNDAN
2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji dan syukur kami
panjatkan ke hadirat Allah SWT., atas izin dan kehendak-Nya-lah kami bisa
menyelesaikan makalah ini. Salawat serta salam kami ucapkan kepada
Nabi Muhammad SAW, nabi terakhir sekaligus manusia yang menjadi teladan bagi kita semua.
Tujuan penyusunan makalah ini tentunya ialah
untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Otonomi Daerah. Makalah
yang kami susun ini berjudul ”Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan
Otonomi Daerah”. Demi
tersusunnya makalah ini, kami mengambil
referensi dari berbagai buku bacaan serta sumber lain dari internet. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih kepada Bapak Dr. Yaya M. Abdul Aziz, M.Si. selaku
dosen dari mata
kuliah Otonomi Daerah.
Demikianlah, beberapa patah kata
yang kami sampaikan.
Kami menyadari
bahwa makalah yang kami buat ini masih memiliki banyak sekali kekurangan.
Maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan sarannya agar penulis bisa
membuat sebuah makalah yang lebih baik di kemudian hari.
Wasslamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bandung,
November 2015
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah.......................................................................................... 1
C. Tujuan............................................................................................................ 2
D. Manfaat.......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Hubungan
dalam Bidang Kewenangan......................................................... 3
B. Hubungan
dalam Bentuk Pembinaan dan Pengawasan................................. 5
C. Hubungan
dalam Bidang Keuangan.............................................................. 7
D. Hubungan
dalam Bidang Pelayanan Umum.................................................. 8
E.
Hubungan dalam Bidang Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Sumber Daya Lainnya. 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................... 11
B. Saran.............................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejak Negara Republik Indonesia
diproklamasikan, para pendiri negara (the
founding father) berkeinginan bahwa negara Indonesia ini merupakan Negara
Kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan
bahwa: “Negara Indonesia ialah negara Kesatuan yang berbentuk Republik.”
Sejak Konstitusi Indonesia ditetapkan sampai
terjadinya amandemen pasal-pasal dalam Konstitusi RI (UUD 1945), pasal tersebut
tidak termasuk ke dalam pasal yang diamandemen. Hal ini membuktikan bahwa sejak
diproklamasikannya negara ini hingga sekarang, Indonesia tetap berprinsip pada
bentuk negaranya sebagai Negara Kesatuan. Bahkan menurut Pasal 37 ayat (5) UUD
1945, hasil amandemen UUD 1945 menetapkan bahwa khusus mengenai bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.
Menurut Syafrudin (1993), ciri yang melekat dari
negara kesatuan yaitu adanya Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah yang
keduanya saling berhubungan erat dan saling menentukan. Artinya, Pemerintah
Pusat tidak akan mampu menjalankan tugas dan kewajiban dalam organisasi
kekuasaan negara yang sangat luas tanpa bantuan Pemerintah Daerah. Di sisi
lain, Pemerintahan Daerah tidak akan mendapat kekuasaan (power) yang berbentuk kewenangan (authority) untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya apabila
tidak diberi wewenang oleh Pemerintah Pusat yang diatur melalui peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, hubungan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah di negara kesatuan sangat menentukan dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan.
Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang baik,
perlu adanya pembinaan dan pengawasan terhadap setiap tindakan daerah otonom. Selain
dalam hal kewenangan dan pembinaan serta pengawasan, hubungan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah juga mencakup hubungan dalam bidang keuangan,
hubungan dalam bidang pelayanan umum dan hubungan dalam bidang pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis
membatasi rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang kewenangan?
2.
Bagaimana
hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bentuk pembinaan
dan pengawasan?
3.
Bagaimana
hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang keuangan?
4.
Bagaimana
hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang pelayanan
umum?
5.
Bagaimana
hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya?
C.
Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:
1.
Untuk memberikan
pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
bidang kewenangan.
2.
Untuk memberikan
pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
bentuk pembinaan dan pengawasan.
3.
Untuk memberikan
pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerntah Daerah dalam
bidang Keuangan.
4.
Untuk memberikan
pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
bidang pelayanan umum.
5.
Untuk memberikan
pemahaman mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
D.
Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini ialah:
1.
Secara teoritis
dapat menambah wawasan keilmuan kita mengenai otonomi daerah, khususnya
mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
2.
Secara praktis,
makalah ini dapat dijadikan sebagai sumber rujukan bagi kita dalam mengkaji
setiap bentuk kesenjangan dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah yang terjadi di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan dalam Bidang Kewenengangan
Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dalam bidang kewenengan berkaitan dengan cara pembagian urusan
penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara
penentuan ini mencerminkan bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Menurut
Manan (2002), suatu daerah dapat digolongkan sebagai otonomi luas apabila
memenuhi syarat sebagai berikut:
1.
Urusan-urusan
rumah tangga daerah secara kategori dan pengembangannya diatur dengan cara-cara
tertentu pula.
2.
Apabila sistem
supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa sehingga daerah otonom
kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan
mengurus rumah tangga daerahnya.
3.
Sistem hubungan
keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan
kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.
Dalam penyelenggaraan otonomi luas,
urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah jauh lebih banyak apabila
dibandingkan dengan urusan pemerintahan yang tetap menjadi wewenang
pemerintahan pusat. Otonomi luas bisa bertolak dari prinsip, semua urusan
pemerintahan pada dasarnya menjadi urusan rumah tangga daerah, kecuali hal-hal
yang ditentukan sebagai urusan pusat sebagai mana diatur dalam pasal 10 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, yaitu:
1.
Politik luar
negeri, yaitu seperti urusan pengangkatan pejabat diplomatik dan menunjuk
keluarga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan
kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan
kebijakan perdagangan luar negeri dan sebagainya.
2.
Pertahanan,
misalnya mendirikan atau membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan
perang, menyatakan negara atau sebagian negara dalam keadaan bahaya, membangun
dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan
kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara, dan
sebagainya.
3.
Keamanan,
misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan
keamanan nasional, menindak kelompok atau organisasi yang melanggar hukum
negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya menggangu keamanan
negara dan sebagainya.
4.
Moneter dan
fiskal nasional, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang,
menetapkan kebijakan moneter/fiskal, mengendalikan peredaran uang dan
sebagainya.
5.
Yustisi,
misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hukum dan jaksa, mendirikan
lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian, memberikan
grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang peraturan pemerintah, dan
peraturan lain yang berlaku secara nasional.
6.
Agama, misalnya
menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberi hak
pengakuan terhadap suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan
kehidupan keagamaan dan sebagainya..
Selain keenam urusan pemerintah
tersebut, selebihnya menjadi wewenang Pemerintah Daerah. Dengan demikian,
urusan yang dimiliki pemerintah daerah tidak terbatas. Daerah diberi kewenangan
untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dianggap mampu dilaksanakan
oleh pemerintah daerah dan memiliki potensi untuk dikembangkan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat (Abdullah, 2000).
Dalam pembagian urusan pemerintahan,
terdapat bagian urusan pemerintahan yang bersifat concurrent, yaitu urusan pemerintahan yang penanganannya dalam
bagian atau bidang tertentu, dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Dengan demikian, pada setiap urusan yang bersifat concurrent, ada bagian urusan yang
menjadi wewenang Pemerintah Pusat dan ada bagian yang diserahkan pada
kabupaten/kota. Untuk mewujudkan
pembagian kewenangan yang concurrent
ini, secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten
dan Kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas
dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan
pemerintahan sebagai suatu sistem antara hubungan kewenangan pemerintah,
kewenangan pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, atau antar
pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis.
a)
Eksternalitas,
yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan
dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan
pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota, apabila regional
menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat.
b)
Akuntabilitas,
yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa
tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat
pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang
ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
c)
Efisiensi, yaitu
pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan
tersedianya sumber daya (personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan
ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam
penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam
penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna dilaksanakan
oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota dibandingkan apabila
ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada Daerah
Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan
akan lebih berdayaguna dan berhasil guna bila ditangani oleh Pemerintah Pusat maka
bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh Pemerintah Pusat. Untuk itu pembagian
bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah
beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan
hasilguna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat
dan besar kecilnya resiko yang harus dihadapi. Sedangkan yang dimaksud dengan
keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintah yang
dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan
(inter-koneksi), saling tergantung (inter-dependensi), dan saling mendukung
sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan.
B.
Hubungan dalam Bentuk Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan pengawasan
sebagaimana diatur dalam Bab XII 12 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan
diatur lebih terperinci dalam peraturan pemerintah Nomor 79 tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilakukan
oleh Pemerintah (pusat) untuk menjaga keutuhan NKRI. Hal ini karena tidak
menutup kemungkinan dengan diberikannya keleluasaan dan kewenengan untuk
menjalankan roda pemerintahannya (desentralisasi), daerah dengan kewenangannya
sendiri meneyelenggarakan pemerintahan tanpa memperhatikan keperluan (keutuhan)
NKRI (Pemerintah Pusat) sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945.
Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah
merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau gubernur selaku wakil
pemerintah pusat yang ada di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan
penyelenggaraan otonomi daerah. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah meliputi :
a.
koordinasi
pemerintahan antar susunan pemerintahan;
b.
pemberian
pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan;
c.
pemberian
bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan;
d.
pendidikan dan
pelatihan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat
daerah, pegawai negeri sipil daerah, kepala desa, anggota badan permusyawaratan
desa, dan masyarakat secara umum;
e.
perencanaan,
penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan
pemerintahan.
Konsultasi dilaksanakan secara berkala pada tingkat
nasional, regional, atau provinsi. Pemberian pedoman dan standar mencangkup
aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan, kualitas,
pengendalian, dan pengawasan. Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi
dilaksanakan secara berkala dan/ atau sewaktu-waktu, baik secara menyeluruh
kepada seluruh daerah maupu kepala daerah tertntu sesuai dengan kebutuhan.
Pendidikan dan pelatihan dilaksanakan secara berkala bagi kepala daerah atau
wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil
daerah, dan kepala desa. Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan
evaluasi dilaksanakan secara berkala ataupun sewaktu-waktu dengan memperhatikan
susunan pemerintahan. Pelaksanaan ketentuan tersebut dapat dilakukan secara
kerja sama dengan perguruan tinggi dan/atau lembaga penelitian.
Dalam hal pengawasan Pemerintah Pusat terhadap
setiap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, diatur dalam BAB XII pasal 218
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Maksud pengawasaan ini ialah menjaga
pelaksanaan otonomi oleh daerah-daerah agar diselenggarakan dan tidak bertindak
melebihi wewenangnya sehingga daerah dengan wewenangnya yang luas, nyata dan
bertanggung jawab ini menyelenggarakan pemerintahan tanpa memperhatikan
keutuhan NKRI.
Fungsi pengawasan ini dalam rangka
menjamin terlaksananya kebijaksanaan pemerintah dan rencana pembangunan pada
umumnya. Dalam organisasi pemerintahan, pengawasan bertujuan menjamin:
1.
keserasian
antara penyelenggaraan tugas pemerintah oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, dan
2.
kelancaran
penyelenggaraan pemerintah secara berdaya guna dan berhasil guna.
Pengawasan Pemerintah Pusat atas
penyelenggaraan pemerintah daerah ini tentunya telah mengalami pergeseran sejak
adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, dikenal dengan adanya pengawasan umum,
pengawasan preventif, dan pengawasan represif.
1.
Pengawasan Umum
Menurut Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999, pengawasan umum ialah pengawasan Pemerintah Pusat terhadap
keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang yang telah diberikan oleh Pemerintah
Pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan tugas dan wewenang yang telah diberikan
oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Pengawasan umum ini meliputi
bidang pemerintahan, kepegawaian, keuangan dan peralatan, pembangunan,
perumahan daerah, serta bidang yayasan dan lain-lain yang ditetapkan oleh Menteri
Dalam Negeri.
2.
Pengawasan
Preventif
Pengawasan preventif
mengharuskan setiap peraturan daerah dan keputusan kepala daerah mengenai pokok
tertentu berlaku sesudah mendapatkan pengesahan dari Menteri Dalam Negeri bagi
peraturan daerah dan keputusan kepala daerah tingkat II. Peraturan daerah dan
keputusan kepala daerah yang memerlukan pengesahan itu adalah hal-hal yang
menyangkut sebagai berikut:
a.
Menetapkan
ketentuan ketentuan yang menyangkut rakyat dan mengandung perintah, larangan,
keharusan berbuat sesuatu yang ditujukan langsung kepada rakyat.
b.
Mengadakan
ancaman pidana berupa denda atau hukuman kurungan atas pelanggaran tertentu.
c.
Memberikan bahan
kepada rakyat (pajak, retribusi daerah).
d.
Mengadakan utang
piutang, menanggung pinjaman, mengadakan perusahaan daerah, menetapkan dan
mengubah apbd, mengatur gaji pegawai dan lain-lain.
3.
Pengawasan
Represif
Pengawasan represif
adalah menyangkut penangguhan atau pembatalan Peraturan Daerah yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundangan yang tingkatnya
lebih tinggi. Pengawasan represif dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang
terhadap semua peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 pasal 218, pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
dilakukan melalui:
1.
Pengawasan atas
penyelenggaraan urusan pemerintah didaerah dilaksanakan oleh pemerintah yang
meliputi;
a.
Pengawasan atas
pelaksanaan dan urusan pemerintahan didaerah;
b.
Pengawasan
terhadap peraturan daerah dasn peraturan kepala daerah.
2.
Pengawasan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh aparat
pengawas intern pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.
Untuk mengoptimalkan fungsi pembinaan dan
pengawasan, pemerintah memberi penghargaan pada pemerintah daerah, kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai
negeri sipil daerah, perangkat desa, anggota badan permusyawaratan desa
berdasarkan hasil penilaian terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan daerah
yang menunjukan prestasi tertentu. Sebaliknya, pemerintah juga memberikan
sanksi apabila ditemukan adanyan pemyimpangan dan pelanggaran.
C.
Hubungan dalam Bidang Keuangan
Dalam alokasi sumber keuangan daerah, yang menjadi
pokok permasalahan ialah perimbangan antara keuangan pusat dan keuangan daerah.
Perimbangan adalah memperbesar pendapatan asli daerah sehingga lumbung keuangan
daerah dapat berisi lebih banyak. Permasalahan yang sering terjadi saat ini
ialah minimnya jumlah uang yang dimiliki daerah dibandingkan dengan uang yang
dimiliki pusat.
Beberapa hal yang perlu dicatat mengenai hubungan
keuangan antara pusat dan daerah ialah sebagai berikut:
1.
Meskipun
pendapatan asli daerah tidak banyak, tidak berarti lumbung keuangan daerah
tidak berisi banyak. Lumbung keuangaan daerah tidak bersumber dari pendapatan
sendiri, tetapi dari uang yang diserahkan pusat kepada daerah seperti subsidi
dan lainya. Tidak berarti pula lumbung keuangan daerah yang terbatas itu
menyebabkan rakyatnya menikmati kesejahteraan karena usaha kesejahteraan ikut
diselenggarakan pusat.
2.
Meskipun ada
skema hukum perimbangan keuangan, dalam kenyataan perimbangan keuangan pusat
dan daerah hanya ilusi karena dalam keadaan apapun, keuangan pusat akan selalu
lebih kuat dari pada keuangan daerah.
3.
Meskipun sumber
lumbung keuangan daerah diperbesar, tidak akan ada daerah yang mampu
membelanjai secara penuh rumah tangganya sendiri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-undang
nomor 32 tahun 2004, hubungan di bidang keuangan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah (vertikal) meliputi sebagai berikut:
1.
Pemberian
sumber-sumber keuangan, untuk meneyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah.
2.
Pengalokasian
dana perimbangan kepadada pemerintah daerah.
3.
Pemberian
pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah daerah
Sementara itu, hubungan dalam bidang keuangan antar
pemerintah daerah (horizontal) meliputi sebagai berikut:
1.
Bagi hasil pajak
dan non pajak antara pemerintah ke daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/ kota.
2.
Pendanaan urusan
pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama.
3.
Pembiayaan
bersama atas kerja sama daerah.
4.
Pinjaman dan/
atau hibah antar pemerintah daerah.
D.
Hubungan dalam Bidang Pelayanan Umum
Mengenai hubungan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah (vertikal) dalam bidang pelayanan umum, diatur
dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 16 ayat (1) yaitu meliputi:
1.
Kewenangan,
tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal;
2.
Pengalokasian
pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;
3.
Fasilitasi
pelaksanaan kerja sama antar pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan
pelayanan umum.
Sementara itu, pada ayat (2) diatur mengenai hubungan
antar pemerintah daerah (horisontal) dalam bidang pelayanan umum yaitu:
1.
Pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi
kewenangan daerah;
2.
Kerja sama antar pemerintahan daerah dalam
penyelengaraan pelayanan umum; dan
3.
Pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.
Bidang pelayanan umum menjadi sorotan
yang cukup penting dalam kajian otonomi. Masih sering ditemukan pelayanan umum
di daerah yang tidak memenuhi standar minimal pelayanan. Hal ini entah dikarenakan
daerah yang tidak peduli ataukah tidak mampu (keterbatasan kemampuan) dalam
menyediakan pelayanan umum yang maksimal. Bila diambil contoh yaitu dalam
penyediaan pelayanan umum berupa rumah sakit, dimana terdapat fasilitas rumah
sakit yang berbeda-beda, ada rumah sakit dengan fasilitas minim (di bawah
standar), adapula yang lengkap.
Selain bidang kesehatan, pelayanan
umum bidang transportasi juga perlu diperhatikan seperti penyediaan halte, penyediaan
akses jalan alternatif agar memudahkan seseorang menuju daerah itu. Seharusnya
pemerintah pusat memperhatikan hal-hal ini dan memfasilitasi serta turut
mendanai penyelenggaraan pelayanan umum di daerah-daerah yang memerlukan
penyediaan pelayanan umum agar lebih maksimal, efektif, dan menjamin kenyamanan
masyarakat yang menikmatinya.
Permasalahan utama pelayanan publik
pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu
sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek,
yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya
manusia, dan kelembagaan. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan
publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain: kurang responsif, kurang
informatif, kurang accessible, kurang
koordinasi, birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat,
dan inefisien.
Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan
utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan etika.
Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu
dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat. Sedangkan apabila
dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi
yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat,
penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit
(birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua
fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat
kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik
menjadi tidak efisien.
E.
Hubungan dalam Bidang Pemanfaatan Sumber Daya Alam
dan Sumber Daya Lainnya
Berdasarkan
ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa
hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:
1. Kewenangan,
tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian
dampak, budidaya, dan pelestarian;
2. Bagi hasil
atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
3. Penyerasian
lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Dari yang telah disebutkan diatas, nampak jelas bahwa daerah yang memiliki
kekayaan sumber daya alam, dalam hal kewenangan, tanggung
jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan
pelestarian melibatkan pula pemerintah pusat. Dan juga daerah mendapatkan
bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya bersama
dengan pemerintah pusat karena kedua pemerintah ini ikut andil dalam bidang
pemanfaatan sumber daya alam.
Sementara itu, pada ayat berikutnya diatur mengenai hubungan pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara horizontal (antar pemerintah
daerah) yaitu sebagai berikut:
1.
Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah;
2.
Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya
alam. dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan
3.
Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya.
Daerah yang memiliki wilayah laut
diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Daerah
mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar
dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan
daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut meliputi:
a.
eksplorasi,
eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;
b.
pengaturan
administratif;
c.
pengaturan tata
ruang;
d.
penegakan hukum
terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan
kewenangannya oleh Pemerintah;
e.
ikut serta dalam
pemeliharaan keamanan; dan
f.
ikut serta dalam
pertahanan kedaulatan negara.
Kewenangan untuk mengelola sumber
daya di wilayah laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah
laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3
(sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Apabila
wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil,
kewenangan untuk mengelola sumber daya. Di wilayah laut dibagi sama jarak atau
diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi
tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah
kewenangan provinsi dimaksud.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 10
ayat (3), Ada enam hal yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang tidak menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah yaitu mengenai politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi dan persoalan agama. Selain
keenam hal tersebut, selebihnya menjadi urusan daerah. Untuk mewujudkan
pembagian kewenangan yang concurrent secara
proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka
disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah
Pusat mengadakan pembinaan dan pengawasan terhadap setiap kewenangan yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Pembinaan atas penyelenggaraan tersebut meliputi
koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan; pemberian pedoman dan
standar pelaksanaan urusan pemerintahan; pemberian bimbingan, supervisi dan
konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; pendidikan dan pelatihan bagi
kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai
negeri sipil daerah, kepala desa, anggota badan permusyawaratan desa, dan
masyarakat secara umum; serta perencanaan, penelitian, pengembangan,
pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan. Dalam hal pengawasan Pemerintah
Pusat atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah dikenal adanya tiga jenis
pengawasan yaitu pengawasan umum, pengawasan preventif, dan pengawasan
represif.
Dalam hal hubungan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah di bidang keuangan, pelayanan umum serta pengelolaan sumber
daya diatur dalam pasal 15 sampai pasal 17 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
dimana disana diatur mengenai hubungan secara vertikal (antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah) dan hubungan secara horizontal (antar pemerintah daerah)
mengenai ketiga bidang tersebut.
B.
Saran
Pelaksanaan otonomi daerah di era globalisasi saat
ini perlulah ditingkatkan lagi. Peran Pemerintah Pusat sangatlah penting dalam
membantu pembangunan di daerah-daerah. Dalam hal pengelolaan keuangan daerah,
sangatlah perlu adanya peningkatan dalam manajemen pengelolaannya. Dalam hal
pelayanan umum di daerah, kita masih sering menemukan ketidakpuasan dari
masyarakat. Beberapa rekomendasi terkait hal tersebut bisa dilakukan melalui penetapan
standar pelayanan, pengembangan Standard Operating Procedures (SOP),
pengembangan survey kepuasan pelanggan, dan pengembangan sistem pengelolaan
pengaduan. Selain itu perlu adanya reformasi birokrasi yang serius dalam
mengatasi kelemahan-kelemahan pelayanan di daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Rozali. 2000. Pelaksanaan Otonomi Luas & Isu Federalisme sebagai Suatu
Alternatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
http://dhyazjopi.blogspot.co.id/2013/05/hubungan-pemerintah-pusat-dan-daerah.html
diakses pada 15 November 2015 pukul 06.30 WIB
http://nurfaradilaa.blogspot.co.id/2013/04/hubungan-pemerintah-pusat-dengan_24.html
diakses pada 12 November 2015 pukul 11.54 WIB
Manan, Bagir. 2002. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum
Fakultas Hukum UII.
Rosidin, Utang. 2015. Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Bandung: Pustaka Setia.
Safrudin, Ateng. 1993. Pengaturan Koordinasi Pemerintah di Daerah. Bandung: Citra Aditya.